PENDERITAAN

Definisi Penderitaan
Derita dari kata ”dhra” artinya menahan atau menanggung sesuatu.
Penderitaan adalah menahan menanggung sesuatu yang tidak menyenangkan.

Orang yang menderita adalah orang yang mengalami suatu peristiwa yang sangat menyakitkan yang tidak diharapkannya atau tidak diduganya.

Penderitaan termasuk realitas dunia dan manusia. Intensitas penderitaan manusia bertingkat-tingkat, ada yang berat dan ada juga yang ringan. Namun, peranan individu juga menentukan berat-tidaknya Intensitas penderitaan. Suatu perristiwa yang dianggap penderitaan oleh seseorang, belum tentu merupakan penderitaan bagi orang lain. Dapat pula suatu penderitaan merupakan energi untuk bangkit bagi seseorang, atau sebagai langkah awal untuk mencapai kenikmatan dan kebahagiaan.

Mengapa manusia mengalami penderitaan?
Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang lemah dan suka berkeluh kesah.
Dalam kelangsungan hidupnya manusia selalu harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik ataupun lingkungan sosial. Ketidakberhasilan dalam penyesuaian ini dapat menimbulkan penderitaan.

Fungsi penderitaan bagi manusia:
1. menempa jiwa/mental
2. menimbulkan solidarisme, empati kepada sesama
3. menimbulkan rasa syukur
4. merasa dekat kepada Sang Pencipta

Bentuk-bentuk penderitaan
– Penderitaan jasmani: sakit, siksaan fisik, kelaparan, kehausan
– penderitaan rohani: sakit hati, duka (dukha), rindu
penderitaan sifatnya sangat subyektif, sehingga tolok ukur satu orang dengan orang lain dalam mengalami penderitaan berbeda-beda.

Semua manusia mengalami penderitaan.
Penderitaan bersifat:
1. Universal: bisa menimpa siapa saja, kapan saja di mana saja
2. Anak keserakahan manusia: penderitaan menimpa seseorang karena keserakahan orang lain

Fenomena penderitaan dalam teologi Islam:
1. Penderitaan sebagai cobaan
2. Penderitaan sebagai siksaan
3. Penderitaan sebagai azab

Mengenai penderitaan yang dapat memberikan hikmah, contoh yang gamblang dapat dicatat disini adalah tokoh-tokoh filsafat eksistensialisme. Misalnya Kierkegaard (1813-1855), seorang filsuf Denmark, sebelum menjadi seorang filsuf besar, masa kecilnya penuh penderitaan. Penderitaan yang menimpanya, selain melankoli karena ayahnya yang pernah mengutuk Tuhan dan berbuat dosa melakukan hubungan badan sebelum menikah dengan ibunya, juga kematian delapan orang anggota keluarganya, termaksud ibunya, selama dua tahun berturut-turut. Peristiwa ini menimbulkan penderitaan yang mendalam bagi Soren Kierkegaard, dan ia menafsirkan peristiwa ini sebagai kutukan Tuhan akibat perbuatan ayahnya. Keadaan demikian, sebelum Kierkegaard muncul sebagai filsuf, menyebabkan dia mencari jalan membebaskan diri (kompensasi) dari cengkraman derita dengan jalan mabuk-mabukan. Karena derita yang tak kunjung padam, Kierkegaard mencoba mencari “hubungan” dengan Tuhannya, bersamaan dengan keterbukaan hati ayahnya dari melankoli. Akhirnya ia menemukan dirinya sebagai seorang filsuf eksistensial yang besar.

Penderitaan Nietzsche (1844-1900), seorang filsuf Prusia, dimulai sejak kecil, yaitu sering sakit, lemah, serta kematian ayahnya ketika ia masih kecil. Keadaan ini menyebabkan ia suka menyendiri, membaca dan merenung diantara kesunyian sehingga ia menjadi filsuf besar.

Lain lagi dengan filsuf Rusia yang bernama Berdijev (1874-1948). Sebelum dia menjadi filsuf, ibunya sakit-sakitan. Ia menjadi filsuf juga akibat menyaksikan masyarakatnya yang sangat menderita dan mengalami ketidakadilan.

Sama halnya dengan filsuf Sartre (1905-1980) yang lahir di Paris, Perancis. Sejak kecil fisiknya lemah, sensitif, sehingga dia menjadi cemoohan teman-teman sekolahnya. Penderitaanlah yang menyebabkan ia belajar keras sehingga menjadi filsuf yang besar.

Masih banyak contoh lainnya yang menunjukkan bahwa penderitaan tidak selamanya berpengaruh negatif dan merugikan, tetapi dapat merupakan energi pendorong untuk menciptakan manusia-manusia besar.

Contoh lain ialah penderitaan yang menimpa pemimpin besar umat Islam, yang terjadi pada diri Nabi Muhammad. Ayahnya wafat sejak Muhammad dua bulan di dalam kandungan ibunya. Kemudian, pada usia 6 tahun, ibunya wafat. Dari peristiwa ini dapat dibayangkan penderitaan yang menimpa Muhammad, sekaligus menjadi saksi sejarah sebelum ia menjadi pemimpin yang paling berhasil memimpin umatnya (versi Michael Hart dalam Seratus Tokoh Besar Dunia).

Hal lain yang menimbulkan derita terhadap seseorang adalah merasakan suatu keinginan atau dorongan yang tidak dapat diterima atau menimbulkan keresahan, gelisah, atau derita. Maka ia pun berusaha menjauhkan diri dari lingkup kesadaran atau perasaannya. Akhirnya, keinginan atau dorongan itu tertahan dalam alam bawah sadar. Namun, sering orang itu mengekspresikan keinginan atau dorongan itu secara tidak sadar atau dengan ucapan yang keliru.

Dan kalau Kami mengkhendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu, sehingga kamu dapat benar-benar mengenal mereka dengan tanda-tandanya, tetapi kamu mengenal mereka dari bicara mereka, dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu”. (QS. 47: 29-30).

Demikianlah Al-Quran telah mengisyaratkan tentang adanya ciri-ciri orang yang tidak sadar (menderita) lewat kata-kata yang keliru, sejak 14 abat yang lalu sebelum dikemukakan oleh Freud, penemu teori psikoanalisis. Bahkan sebuah hadist mengatakan:

“Tak seorang pun yang menyembunyikan suatu rahasia kecuali jika Allah akan memberinya penutup. Apabila penutup itu baik, maka rahasia itu baik, dan apabila penutup itu buruk maka buruk pula rahasia itu”. (Tafsir Ibn Katsir, Vol. 4 hal. 180).

Obat supaya hati sehat di firmankan Allah sebagai berikut:

“Kecuali orang yang datang ke hadirat Allah SWT dengan hati yang suci”. (QS. 26: 89 ).

Jadi, mengenal atau makrifat kepada Allah yang membawa semangat taat kepada Allah SWT dengan cara menentang hawa nafsu, merupakan obat untuk menyembuhkan penyakit dalam hati (menderita gelisah) (Al-Ghazali, abad ke-11).

Sumber :

http://www.telaga.org/audio/penderitaan_manusia_1

http://exalute.wordpress.com/2009/03/29/manusia-dan-penderitaan/

Manusia dan Penderitaan

Tinggalkan komentar